Kamis, 05 November 2009


Sejarah OPEC
Pasca Perang Dunia II, sejalan dengan bangkitnya nasionalisme di kalangan Negara-negara yang sedang berkembang, Negara-negara penghasil minyak yang sudah jenuh diperlakukan tidak adil oleh bekas negara-negara penjajahnya mulai berusaha merubah cara-cara eksploitasi minyak sampai pemasarannya yang dianggap merugikan negara-negara pemilik sumber minyak dan terlalu menguntungkan perusahaan-perusahaan minyak asing. Mula-mula negara-negara penghasil minyak itu hanya menuntut dinaikkannya harga minyak dan menuntut royalty yang lebih besar agar posisi bargain mereka lebih kuat. Tuntutan ini makin meningkat dan sejak tahun 1960, dengan dibentuknya OPEC sebagai kartel minyak internasional mulailah suatu revolusi dalam proses politik perminyakan internasional yang lebih menguntungkan negara-negara produsen dan hal ini sudah tentu merupakan suatu perkembangan yang wajar.

Negara-negara Pendiri, Tokoh dan Perkembangan Anggota
Pada bulan September 1960 pemerintah Saudi Arabia, Iran, Kuwait, Iraq dan Venezuela bertemu di Baghdad untuk mendirikan OPEC ( Organization of  Petroleum exporting Countries), Dua tokoh yang berjasa besar bagi kelahiran OPEC adalah Syeikh Abdullah tariki dari Saudi Arabia dan Perez alfonzo dari Venezuela.[1] Dua tokoh perminyakan ini kebetulan juga adalah nasionalis-nasionalis tulen yang cukup cerdas dan memiliki integritas. Mereka berdua mewakili kekuatan negara-negara produsen minyak yang mendambakan perubahan struktur dan proses perminyakan internasional yang pada waktu itu sangat didominasi oleh negara-negara barat beserta berbagai perusahaan multinasional barat. Organisasi ini bertujuan mula-mula untuk melakukan koordinasi kebijakan masing-masing negara anggota terhadap perusahaan-perusahaan minyak asing, ikut menentukan proses penentuan harga dimasa depan dan mengambil suatu langkah bersama menghadapi penurunan harga yang belum lama terjadi pada waktu itu. Lima negara pelopor OPEC tersebut kemudian diikuti oleh delapan negara lainnya yaitu; Indonesia, Qatar, Libya, Uni Emirat arab, Al jazair, Nigeria, Ekuador  dan Gabon. Lalu disusul Algeria masuk menjadi anggota OPEC, tetapi kemudian Al jazair mengundurkan diri demikian juga dengan Ekuador dan Gabon yang mengundurkan diri dari keanggotaan atas permintaan sendiri pada tahun 1992 dan 1994.[2] Jadi sekarang anggota negara OPEC terdiri dari 11 negara saja, yaitu Arab Saudi, Iran, Iraq, Venezuela, Kuwait, Indonesia, Qatar, Libya, Uni Emirat Arab, Nigeria dan Algeria.[3]
Pada awal tahun 1970-an terjadi perubahan revolusioner dalam perimbangan kekuatan dalam masalah penguasaan minyak. Perusahaan-perusahaan barat yang berpuluh-puluh tahun telah menguasai mulai eksplorasi sampai pemasaran minyak mulai terdesak dan diletakkan dalam posisi defensif. Negara-negara radikal dan mobilisasional seperti Libya dan Al jazair dengan bantuan negara konservatif seperti Saudi Arabia dan Iran bersama-sama mengambil alih kontrol atas proses perminyakan dunia dari tangan berbagai perusahaan minyak yang bernarkas besar di kota-kota besar Eropa dan Amerika. Pada pertengahan tahun 1970-an negara-negara anggota OPEC pada umumnya berhasil menguasai baik kontrol atas penetapan harga maupun penentuan politik produksi minyak. Disamping itu juga mulai menguasai pemilikan secara penuh berbagai fasilitas dan kontrol atas operasi-operasi teknis yang berada dalam wilayah negara masing-masing. Bahkan secara bertahap mereka juga mulai aktif dalam kegiatan-kegiatan “downstream” yang mencakup transportasi, distribusi dan pemasaran.

Faktor Pendukung Efektifitas Organisasi
            Salah satu hal yang mendukung keefektifitasan OPEC yakni kerjasama dari negara-negara non-OPEC untuk mendukung stabilitas harga. negara-negara non-OPEC mencakup Norwegia, Oman, dan Rusia. Terutama ketika kemerosotan harga minyak tahun 1998 dan awal 1999 membawa pesan yang kuat bagi OPEC bahwa stabilitas pasar hanya dapat dicapai melalui kerjasama antara OPEC dan produsen minyak non-OPEC. Upaya OPEC untuk memulihkan kembali stabilitas harga minyak dengan pengendalian produksi mereka yang diharapkan akan membantu memulihkan harga dari kemerosotan.
            Keikutsertaan negara-negara non-OPEC ini membuat negara-negara anggota OPEC lebih mungkin untuk memelihara kebijakan pembatasan produksi mereka. Non-OPEC memproduksi 62% dari total minyak dunia selama tahun 2003. Pengelolaan industri minyak di negara-negara non-OPEC banyak dilakukan oleh sektor swasta (terkecuali Meksiko) dimana peran pemerintah terbatas dalam hal tingkat produksi. Hal tersebut berdampak pada biaya produksi non-OPEC yang lebih tinggi dibanding dengan biaya produksi OPEC.  Kerjasama yang dilakukan OPEC dengan Negara-negara non-OPEC yaitu:


  1. Meksiko
Meksiko mempunyai hubungan kerjasama yang besar dibandingkan dengan negara-negara non-OPEC utama lainnya. Meksiko adalah pemain kunci dalam pengaturan pengurangan produksi OPEC pada tahun 1998. Meksiko telah membuat kesepakatan dengan OPEC untuk membatasi ekspor minyak sejak tahun 1997. pada 13 Januari 2003, Meksiko mengikuti keputusan OPEC untuk menaikkan laju produksi 1,5 juta barrel/hari. Langkah yang diambil Meksiko adalah dengan memutuskan untuk meningkatkan produksi sebesar 120.000 juta barrel/hari sehingga menjadi 3,88 juta barrel/hari. 
  1. Rusia
Rusia adalah produsen minyak paling besar di dunia. Rusia juga sering mengikuti pertemuan-pertemuan yang dilakukan OPEC. Rusia membuat kesepakatan dengan OPEC tahun 1997 yaitu menyesuaikan ekspor minyak mengikuti koordinasi yang dilakukan OPEC. Sering ada kerancuan mengenai kesepakatan pengurangan produksinya.
  1. Norwegia
Norwegia adalah produsen nomor 3 terbesar didunia. Norwegia telah membuat kesepakatan dengan OPEC pada tahun 1998 dan menyesuaikan produksinya dibawah koordinasi OPEC.
  1. Oman
Negara Oman sering mengikuti pertemuan-pertemuan yang dilakukan oleh para anggota Negara OPEC. Oman adalah produsen minyak yang berada dikawasan Teluk dan mempunyai tingkat produksi yang kecil. Membuat kesepakatan dengan OPEC tahun 1997 untuk menyesuaikan produksi negaranya dibawah koordinasi OPEC.
  1. Anggola
Anggola adalah produsen minyak kedua terbesar di Afrika. Urutan pertama anggota OPEC yaitu Nigeria. Anggola selalu mengikuti pertemuan-pertemuan OPEC. Pada bulan Desember 2001, produksi minyak Anggola mulai meningkat pada akhir tahun 2001. Anggola memutuskan untuk mengurangi produksinya sebesar 22.500 juta barrel/hari sesuai dengan keputusan yang telah dibuat OPEC pada tanggal 14 November 2001.

Faktor Penghambat Efektifitas Organisasi
          Salah satu faktor penghambat dalam organisasi adalah ketika Oktober 2006, dimana negara-negara itu tidak mematuhi pemangkasan kuota yang telah ditetapkan. Sehingga harga pasar minyak dunia  naik dan  dua keputusan terkait pemangkasan produksi yang telah disepakati OPEC hanya akan menjadi macan kertas belaka. Hal ini membuktikan bahwa OPEC tidak mampu untuk megendalikan harga minyak dunia.[4]

Prospek 5 Tahun yang akan Datang
Berdasarkan pada prediksi akan meningkatnya ekonomi dunia pada tahun-tahun yang akan datang, maka permintaan minyak OPEC juga akan terus meningkat. IEA mengatakan bahwa permintaan minyak dunia akan meningkat sebesar 2,2% menjadi 85,2 juta barel per hari, lebih tinggi dari ramalan yang dibuat OPEC, karena ramalan OPEC sendiri adalah permintaan minyak dunia akan meningkat 1,9% menjadi 84,9 juta barel per hari. Anggota-anggota OPEC mengambil manfaat dari tingginya kenaikan harga minyak, tapi juga memproduksi mendekati kapasitas penuh dengan produksi pada tingkat yang tidak pernah dilakukan untuk 25 tahun belakangan ini.




Peta negara-negara OPEC 


Peta Negara Oman


 Peta Negara Arab Saudi

Peta Negara Iran



Peta Negara Irak



Peta Negara Indonesia



Peta Negara Nigeria


Peta Negara Libya

Peta Negara Qatar

Peta Negara Venezuela

DAFTAR PUSTAKA
Simamora Sahat, “Minyak Dalam Politik : Upaya Mencapai Konsensus Internasional”, Rajawali press, 1983. (Terjemahan).


[1]               www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/us-israel/opec.html          
[2] Simamora Sahat, “Minyak Dalam Politik : Upaya Mencapai Konsensus Internasional”, Rajawali press, 1983. (Terjemahan).
[4] Ibid

Rabu, 04 November 2009

MINYAK SEBAGAI SUMBER KONFLIK


Minyak merupakan sumber daya alam yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa bagi kehidupan masyarakat dunia. Minyak bumi, setiap orang tahu merupakan sumber daya yang tidak bisa diperbarui. Semua orang juga tahu kita memerlukan minyak dengan segala jenisnya cukup banyak. Baik gas, bensin, pertamax, bensol, solar, aspal, minyak tanah, maupun ter, merupakan hasil minyak yang memiliki kegunaan baik untuk transportasi, industri, keperluan rumah tangga dan sebagainya. Minyak memiliki keuntungan baik import maupun eksport bagi Negara. Negara yang memiliki kekayaan sumber daya alam minyak rata-rata merupakan negara-negara kaya.

Timur Tengah merupakan kawasan penghasil sumber daya mineral yang jumlahnya tidak tertandingi oleh belahan dunia manapun karena 65 persen cadangan minyak dunia ada di Timur Tengah.  Negara-negara Timur Tengah rata-rata merupakan negara kaya. Arab Saudi merupakan negara penghasil minyak terbaik di dunia. Sejak minyak ditemukan di negeri itu pada tahun 1950-an Arab Saudi menjadi produsen minyak terbesar di dunia dan dikenal sebagai negeri yang stabil dan makmur. Kemudian disusul oleh Irak yang diperkirakan memiliki 112 miliar barel sehingga membuat Irak penghasil minyak terbaik setelah Arab Saudi. Karena kekayaan minyaknya itulah maka negara-negara Timur Tengah memiliki daya tarik bagi bagi negara-negara lainnya. Pasca-Perang Dunia II, Barat justru mulai mundur, kekaisaran kolonial hilang. Nasionalisme Arab awal berkembang, kemudian fundamentalisme Islam muncul. Di satu sisi, Barat mulai sangat bergantung pada negara-negara Teluk Persia untuk sumber energi[1]. Karena itulah negara adi kuasa seperti Amerika Serikat pun menjalin hubungan baik dengan negara-negara timur tengah. Arab Saudi merupakan salah satu aliansi yang paling vital bagi Amerika Serikat di Timur Tengah.

“Minyak bumi“ seolah merupakan  kata sakti yang telah menggerakkan dunia. Sebanyak 45 % konsumsi minyak AS bergantung pada impor. ExxonMobil, salah satu perusahan minyak dan gasterbesar di AS, kini menjadi perusahaan migas terbesar di dunia. Dan Exxon adalah salah satu kontributor keuangan (melalui pajak) untuk pemerintah federal diWashington. Tidak bisa dipungkiri, AS merupakan sebuah negara industri yang sangat besar. Terlalu besar, sehingga mereka bingung siapa pasar dari produk-produk mereka itu, dan darimana harus memperoleh bahan baku untuk semua produksinya. Untuk itulah, perang merupakan alat untuk memperluas pasar di negara-negara yang menolak untuk dimasuki oleh industri Amerika. Vietnam adalah salah satu contohnya.

 Perang Teluk pun merupakan sebuah wujud keinginan AS untuk memiliki minyak. Bukan berarti AS tidak punya minyak, karena cadangan minyak mereka juga besar. Akan tetapi, AS menyadari betul kebutuhan akan minyak di masa depan apabila mereka tidak menghematnya. Untuk itulah, mereka mendorong eksploitasi minyak di berbagai negara (agar cepat habis), sehingga suatu saat nanti, hanya merekalah yang memiliki sumber minyak (untuk dijual dengan harga tinggi). Dan dalam perdagangan minyak ini, negara-negara di jazirah Arab adalah saingan utama, karena belum banyak perusahaan AS yang menyedot minyak disana. Dengan melihat latar belakang seperti itu,  bisa dimengerti mengapa AS saat ini sangat ekspansif.

 Salah satu penopang ekonomi terbesar AS saat ini adalah minyak dari Timur Tengah. Negara-negara Teluk yang saat ini memproduksi hampir 70 persen kebutuhan minyak dunia adalah 'sumber keuangan' AS. Saat ini, misalnya, lebih dari 70 persen perusahaan minyak AS beroperasi di Teluk. Hal yang sama juga terjadi di Jepang karena sebagian besar industri mereka digerakkan oleh minyak impor. Sumber mineral yang berupa minyak merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi negara dari belahan dunia manapun. Namun sangat disayangkan karena sumber mineral tersebut tidak dapat diperbaharui, sehingga menyebabkan setiap negara yang memiliki emas hitam tersebut akan memiliki keuntungan luar biasa  secara finansial.

Disamping menimbulkan kesejahteraan bagi perekonomian miyakpun dapat menyebabkan konflik yang berkepanjangan, karena keuntungan-keuntingannya tersebut. Karena kegunaannya tersebut sehingga menimbulkan Negara-negara besar berusaha melakukan invansi kenegara-negara yang kaya akan minyak. Jika ditelusuri lebih jauh, invansi AS ke Negara-negara timur tengah tidak dapat dipungkiri karena faktor emas hitam tersebut.

Melalui hak vetonya di PBB, AS mengankat isu regional dalam negerinya menjadi isu internasional yang menghebohkan dunia. Misalnya tuduhan AS terhadap Iraq masa rezim Saddam Hussein yang dikatakan memiliki senjata pembunuh massal. Hal itu telah memudahkan AS menginvansi Iraq. Hal serupa juga terjadi atas invansi AS terhadap Afshanistan atas nama perang terhadap teroris,  namun diduga AS hanya ingin menguasai sumber minyak saja. Atau dewasa ini tuduhan AS terhadap Iran yang yang melalui PBB berusaha menghentikan program nuklirnya., karena dikhwatirkan dapat menyebabkan nuklir untuk tujuan senjata perang.                       
Menghancurkan Irak merupakan target prioritas utama AS agar semua target dan tujuan baik ekonomi dan politik bisa tercapai, terutama penataan dalam menata kembali wilayah Timur Tengah. Irak dianggap test case pertama penataan kawasan Timur Tengah sehingga bisa dirasakan efek dari penaklukan Irak. Diharapkan penaklukan Irak bisa membuat negara-negara di Timur Tengah yang selama ini cenderung membangkang bisa berpikir ulang kalau  berkonfrontasi dengan AS. Selain itu dengan penguasaan Irak merupakan pintru gerbang pemberlakuan pengaruh AS dan bisa berlanjut kenegara lain. Atau dalam kata lain nilai-nilai menurut selera AS bisa berlaku di Timur Tengah. Tentunya hal ini bisa meminimalisir potensi perlawanan. Bisa dikatakan tujuan AS menginvansi negara-negara Timut Tengah, adalah secara perlahan-lahan untuk menguasai berbagai sumber minyak di daerah Timur Tengah

A.  MINYAK SEBAGAI ISU DAN SUMBER KONFLIK

Pasca Perang Dunia II terjadi Perang Dingin antara Amerika Serikat  dan Uni Soviet. Pada masa itu“minyak” merupakan isu internasional yang mencuat pada saat itu. Pada masa sebelum Perang Dunia I  negara-negara besar tertarik pada “teori jantung” yaitu siapa yang menguasai daerah jantung maka dia akan menguasai dunia. Hal itulah menyababkan nazisme Jerman pimpinan Adolf Hitler menyerang Austria dan Polandia sehihingga perang tidak dapat dihindarkan.

Pasca berakhirnya Perang Dingin yang ditandai oleh bubarnya imperium kekuatan blok timur- sosialis Uni Sovyet dan  runtuhnya tembok Berlin pada tahun 90-an, wajah dunia berubah drastis 180 derajat. Perang ideologis yang selama itu menjadi cerita dan berita rutin yang mewarnai sejarah dunia pasca Perang Dunia II tampaknya mulai berakhir seiring dengan mulai pudarnya cengkraman sosialisme yang direpresentasikan oleh kekuatan Uni Sovyet. Saat itu pula dua hegemoni global yang berseteru mulai menjadi hegemoni tunggal, yaitu  kapitalisme barat yang direpresentasikan oleh Amerika Serikat. Akhirnya, ideologi kapitalisme dalam banyak hal  melakukan hegemonisasi global.

Setelah Perang Dunia II berakhir, negara-negara besar lebih terfokus pada apa yang diklasifikasikan oleh Harlford Mackinder yang  mengklasifikasi dunia menjadi empat bagian, yakni (1) Heartland mencakup Asia Tengah dan Timur Tengah (disebut World Island), (2) Marginal Land meliputi kawasan Eropa Barat, Asia Selatan, sebagian Asia Tenggara, dan sebagian besar daratan China, (3) Desert yang mencakup kawasan Afrika Utara, serta (4) Outer Continents yang tersdiri atas Benua Amerika, Afrika Selatan, Asia Tenggara, dan Australia[2].
Menurut ahli geopolitik asal Inggris itu, Heartland mempunyai kandungan sumber daya mineral yang jumlahnya tidak tertandingi oleh belahan dunia mana pun. Dalam tesisnya Mackinder mengemukakan siapa pun yang dapat menguasi Heartland (World Island) dalam percaturan politik modern dan ekonomi akan dapat melakukan pertaruhan menuju arah global imperium.Ahli geopolitik lain dari AS Nicholas Spykman juga mempunyai pandangan yang sangat mirip dengan Mackinder. Kedua tokoh tersebut berpandangan siapa pun yang menguasai World Island akan dapat mengendalikan dunia.
Keyakinan pada teori tersebutlah yang  mendorong negara-negara industri, terutama AS, berebut menjalin hubungan erat dengan negara-negara Timur Tengah, karena memang negara-negara itu terbukti kaya akan "emas hitam".  Hal itulah yang menyebabkan sebanyak 45 % konsumsi minyak AS bergantung pada impor. Hal yang sama juga terjadi di Jepang karena sebagian besar industri mereka digerakkan oleh minyak impor.
Namun  Selain menciptakan kemakmuran, minyak menorehkan sejarah hitam dan menjadi sumber konflik. Minyak pulalah yang menggerakkan industri persenjataan AS sehingga melahirkan Perang Teluk I:  Iran-Irak,     Meletusnya Perang Irak-Iran pada tahun 1980 membuat Irak dan Jordania dalam satu barisan. Bahkan Jordania ikut mengirim pasukan ke Irak untuk melawan Iran. Sementara Irak mengalami kemajuan secara ekonomi menyusul kenaikan harga minyak setelah perang Arab-Israel tahun 1973.
Perang Teluk II antara Irak - Kuwait 1990, juga melibatkan AS yang  pada 1974 hampir tidak berdaya menghadapi embargo minyak oleh OPEC. Perang Teluk II terjadi pada tahun 1990-1991, dipicu oleh invasi Irak atas Kuwait pada tanggal 2 Agustus 1990. Saddam Hussein, penguasa Irak kala itu memerintahkan 300.000 pasukannya untuk ‘membebaskan’ Kuwait dari eksploitasi Barat. Kemudian diketahui ternyata pembebasan ini hanyalah bentuk invasi atas cadangan minyak Kuwait yang sangat besar (mengingat wilayahnya yang cukup kecil). Pada tanggal 3 Agustus 1990, Dewan Keamanan PBB menyerukan kepada Irak untuk menarik pasukannya dari Kuwait. Pada tanggal 6 di bulan itu juga, Dewan Keamanan menerapkan embargo perdagangan atas Irak bagi anggota PBB. Invasi Irak dan potensi ancamannya pada Arab Saudi (sekutu terdekat Amerika Serikat), menyebabkan Amerika Serikat dan NATO membentuk pasukan aliansi yang dipusatkan di Arab Saudi, untuk melakukan penjagaan. Mesir dan beberapa negara-negara Arab bergabung dengan koalisi anti Irak serta memberikan kontribusi dalam membangun kekuatan militer aliansi, yang dikenal dengan Operasi Badai Gurun.  
Invasi Irak ke Kuwait disebabkan oleh kemerosotan ekonomi Irak setelah Perang Delapan Tahun dengan Iran dalam perang Iran-Irak. Irak sangat membutuhkan petro dolar sebagai pemasukan ekonominya sementara rendahnya harga petro dolar akibat kelebihan produksi minyak oleh Kuwait serta Uni Emirat Arab yang dianggap Saddam Hussein sebagai perang ekonomi serta perselisihan atas Ladang Minyak Rumeyla sekalipun pada pasca-perang melawan Iran, Kuwait membantu Irak dengan mengirimkan suplai minyak secara gratis. Selain itu, Irak mengangkat masalah perselisihan perbatasan akibat warisan Inggris dalam pembagian kekuasaan setelah jatuhnya pemerintahan Usmaniyah Turki.
Bahkan Afghanistan yang di invasi oleh AS, motif utamanya bukan semata-mata masalah teriorisme tapi dicurigai bermotif minyak karena keberadaan laut Kazvia yang kaya minyak.                                                                                                                                              Dan juga perang AS-Irak yang akhirnya menumbangkan rejim Sadam Hussein, setelah terbukti Irak tidak mempunyai senjata kimia pembunuh massal. Sangat mustahil untuk tidak mengatakan bukan karena didorong untuk menguasai minyak. Sebab, selain kapasitas kandungan minyak Irak yang sangat besar, yakni diperkirakan 112 miliar barel yang berarti menempati urutan kedua setelah Arab Saudi, kualitas minyak bumi Irak terkenal sangat baik. Dengan menguasai Irak- AS bisa leluasa mengatur harga minyak dunia karena Irak merupakan tiga besar penghasil minyak dunia. Selama ini pengaturan harga minyak masih dikuasai oleh OPEC, bukan oleh satu negara tertentu.           
Bahkan selain itu konflik Israel-Hezbollah  yang dapat mengakibatkan efek negatif yaitu  menyebabkan harga minyak dunia menjadi naik. Ini dimungkinkah jika Iran dan Suriah yang mendukung perlawanan milisi Hezbollah, menyerang negara-negara sekutu Amerika Serikat yang kaya minyak, seperti Arab Saudi dan Kuwait.  Konflik Israel-Hezbollah telah mengerek harga minyak dunia, perlahan tetapi pasti[3]. Imbas dari perang ini mau tidak mau bersifat global karena bisa merusak ekonomi dunia. Tidak terbayangkan bila harga minyak mencapai 100 dollar AS per barrel, misalnya, ratusan ribu industri yang mengandalkan minyak bumi sebagai bahan bakarnya akan mengalami kehancuran. Memang harga minyak dunia saat ini masih berada di kisaran 75 dollar AS per barel. Namun, cepat atau lambat, jika perang terus berlangsung, harga minyak bisa menembus angka 80, 90, dan bahkan 100 dollar AS per barrel. Resesi dunia bukan mustahil terjadi.
Sejarah hitam korupsi di Indonesia mulai mencuat karena minyak. Embargo OPEC yang melahirkan uang berlimpah bagi Indonesia telah mendorong korupsi di tubuh Pertamina ketika BUMN tersebut dipimpin oleh Ibnu Sutowo. Kalau konflik AS-Irak dipacu oleh keinginan AS menguasai minyak, maka konflik Indonesia-Malaysia saat ini tidak lepas dari bau minyak. Para politisi boleh mengatakan konflik Ambalat digunakan untuk mengalihkan isu kenaikan harga BBM. Namun sesungguhnya dua kasus yang memanaskan suhu perpolitikan Indonesia tersebut adalah sama, yakni minyak. Di Blok Ambalat diperkirakan ada kandungan minyak 700 juta sampai 1 miliar barel serta gas bumi sekitar 40 triliun kaki kubik. Konsumsi semua jenis BBM Indonesia sudah lebih dari 304,2 miliar setara barel minyak (SBM)/tahun.[4]
Tidak dapat dipungkiri bahwa setelah pasca Perang Dunia II negara-negara besar sepertinya sadar akan kepentingan penguasaan sumber mineral. Seperti yang dilakukan Negara adi kuasa super power Amerika Serikat yang melakukan politik luar negerinya di daerah Timur Tengah dengan menjalin kerjasama dengan Negara-negara di timur tengah seperti Arab Saudi. Jika ada yang membangkan dengan kekuasaannya dan kebijakan politik luar negeri AS, tidak segan-segan AS mengintervensi Negara pembangkang tersebut melalui kekuasaan hak vetonya di PBB, seperti yang dialami oleh Iraq masa rezim Saddam Hussein. Hal tersebut dilakukan karena  kebutuhannya akan pasar minyak dunia


KESIMPULAN :
Pada dasarnya minyak merupakan sumber daya alam yang dapat dimanfaatkan bagi masyarakat dunia,namun karena minyak bumi merupakan sumber daya yang tidak dapat diperbaharui maka menimbulkan dampak kekahawatiran bagi setiap negara dan dunia internasional. Oleh sebab itu, Negara-negara berusaha menjaga  kepentingan minyak. Karena  disamping menghasilkan kekayaan yang berlimpah, minyakpun meningkatkan kesejahteraan. Karena kegunaannya tersebut sehigga menimbulkan konflik untuk menguasai sumber minyak tersebut. Sehingga menyebabkan invansi negara-negara besar terhadap negara-negara penghasil minyak tersebut.
 Penguasaan expansi minyak dapat mengurangi cadangan minyak di daerah regional suatu negarKa. arena hal itulah sehingga mengakibatkan konflik berkepanjangan dan tidak dapat menghindari perang. Sehingga sampai saat ini negara-negara besar seperti AS berusaha menjalin kerjasama dengan negara-negara Timur Tengah. Bahkan karena penyerangannya terhadap Irak yang tuduhannya tidak terbukti yaitu memiliki senjata pemusnah massal, AS diisukan melakukan  expansi minyaknya di Irak, untuk kebutuhan sumber mineral dalam negerinya. Sehingga negara-negara penghasil minyak terbanyak berada dikawasan Timur tengah sering menjadi rebutan negara-negara dari kawasan belahan dunia lain, baik dalam menjalin kerjasama untuk menjaga perdagangan ekonomi yang mencakup sumber mineral meliputi minyak ataupun berusaha melakukan expansi terhadap negara-negara penghasil minyak tersebut.  
Seperti yang dilakukan oleh AS terhadap Negara-nagara di timur tengah seperti Iraq maupun campur tangan AS terhadap Perang Teluk I dan II, tidak jauh-jauh karena kepentingannya terhadap negara-negara Timur Tengah tersebut agar dapat menjalin kerjasama dalam perekonomian baik dalam sumber mineral yang meliputi minyak. Sehingga AS berusaha melakukan hubungan baik dengan Arab Saudi. Namun jika dia mendapat intervensi dari Negara-negara Timur Tengah maka melalui suara hak vetonya di PBB AS berusaha mengangkat isu regional dalam negerinya menjadi isu internasional yang dapat meresahkan dunia. AS yang berperan seolah-olah sebagai polisi dunia berusaha menginvansi irag atas tuduhan senjata pembunuh massal ataupun invansinya di Afghanistan atas nama perang terhadap teroris. Namun setelah berhasil memporak-porandakan kedaulatan negara-negara tersebut, tuduhan AS terhadap Iraq tidak terbukti sama sekali bahkan  justru sebaliknya AS berhasil menguasai sumber mineral di Negara 1001 Malam tersebut.
Minyak merupakan kata sakti yang dapat menggerakan mata dunia. Karena keuntungan-keuntungannya tersebut minyak menjadi kajian tersendiri di dunia internasional. Minyak dapat menyebabkan sebuah Negara kecil menjadi sangat berarti seperti Kuwait di Timur Tengah maupun Brunei Darussalam di Asia. Oleh sebab itu minyak merupakan sebagai sumber kekayaan bagi sebuah Negara sebagai daya tarik peningkat financial negaranya. Namun selain itu minyakpun dapat menyebabkan  sekaligus sebagai sumber konflik. Seperti yang telah dialami oleh Iraq, Afghanistan, maupun terjadinya Perang Teluk I dan II.




Daftar Pustaka :
FX Sugiyanto , “Minyak antara konflik dan kemakmuran”, Suara Merdeka, 14 Maret 2005
Pepih Nugraha , “AS Sebagai Pemegang Kunci” , Kompas Sabtu 29 juli 2006
Dari situs internet :
http://www.icc-jakarta.com/content/view/506/41/( Minggu 12 Agustus)


[1] Huntington 1993, bentuk peradaban
[2]  FX Sugiyanto, "Minyak Antara Konflik dan Kemakmuran", Suara Merdeka,  Senin 14 Maret 2005
[3] Pepih Nugraha, "AS Sebagai Pemegang Kunci", Kompas Sabtu 29 Juli 2006
[4] FX Sugiyanto, "Minyak Antara Konflik Dan Kemakmuran", Suara Merdeka Senin 14 Maret 2005