Sabtu, 31 Oktober 2009

Kurdi

oleh : bapak sidik jatmika
Kurdi adalah satu kelompok etnis yang menganggap diri mereka penduduk asli suatu daerah yang sering dirujuk sebagai Kurdistan, suatu wilayah yang meliputi sebagian Iran, Irak, Syria, dan Turki. Komunitas Kurdi juga dapat diketemukan di Lebanon, Armenia, Azerbaijan (Kalbajar dan Lachin, sebelah barat Nagorno Karabakh) dan, pada beberapa dasawarsa terakhir, beberapa negara-negara Eropa serta Amerika Serikat. Secara etnis, kaum ini memiliki hubungan dengan suku bangsa Iran. Mereka menggunakan bahasa Kurdi, suatu bahasa Indo-Eropa dari cabang bahasa Iran.

Sepanjang sejarah, bangsa Kurdi selalu memperjuangkan kemerdekaannya, dan untuk itu telah berperang melawan Sumeria, Asyur, Persia, Mongolia, Tentara Salib Eropa, serta Turki. Dengan jumlah perkiraan 30 juta orang, kaum Kurdi merupakan salah satu kelompok etnis terbesar di dunia yang tidak memiliki negara-bangsa sendiri. Pada abad ke-20, Turki, Iran, dan Irak telah memadamkan pemberontakan-pemberontakan yang dilakukan oleh kaum Kurdi.

Catatan paling awal mengenai istilah Kurdi ditemukan dalam dokumen Raja Tiglath-Pileser I yang memerintah Assyria dari 1114 hingga 1076 SM. Disebutkan bahwa daerah “Qurti” di gunung Azu termasuk salah satu wilayah yang berhasil ditaklukkan oleh sang raja. Bagi orang Akkadian, sebutan “Kurti” digunakan untuk menunjuk mereka yang tinggal di kawasan pegunungan Zagros dan Taurus timur, sedangkan orang Babylonia menyebut mereka “Guti” dan “Kardu”. Sumber Yahudi, Talmud, beberapa kali menyebut tentang bangsa “Qarduim”.

Sementara itu, dalam catatan ekspedisinya pada tahun 401 SM, Xenophon menceritakan pertemuannya dengan orang-orang “Kardykhoi”. Ini diikuti oleh Polybius (130 SM) yang menyebut mereka “Kyrtioi”, dan Strabo (40 M) yang me-latin-kannya menjadi “Cyrtii”.

Menurut Profesor Izady, setidaknya sejak kurun pertama Masehi, istilah “Kurd” mulai umum dipakai untuk menyebut siapa saja yang mendiami wilayah pegunungan dari Hormuz hingga ke Anatolia. Adapun sejarawan Islam seperti ath-Thabari, al-Ya‘qubi, al-Mas‘udi dan Yaqut, mengakui keberadaan etnis Kurdi sama seperti etnis lainnya (Arab, Parsi, Turki, dan sebagainya).

Suku Kurdi berasal dari rumpun bangsa Indo-Eropa. Mereka dikenal sebagai suku yang mendiami daerah pegunungan di perbatasan Iraq, Iran dan Turki sejak 8000 tahun yang lalu. Menurut Profesor Mehrdad R Izady, seorang pakar Kurdi dari Universitas Harvard, sejarah suku ini dapat dibagi menjadi 4 periode.
Periode pertama, periode Halaf (6000 SM sampai 5400 SM). Ini berdasarkan bukti-bukti arkeologis, seperti bentuk dan lukisan pada pot-pot kuno yang ditemukan di gunung Tell Halaf yang terletak di sebelah barat Qamishli (sekarang masuk wilayah Suriah).
Periode kedua (5300 - 4300 SM) disebut periode al-Ubaid, nama sebuah gunung di utara Iraq tempat ditemukannya banyak peninggalan kuno. Adalah penduduk Ubaid yang memberikan nama ‘Tigris’ dan ‘Euphrates’ untuk dua sungai utama di yang mengalir dari Kurdistan ke Mesopotamia. Mereka jugalah yang menurunkan suku Chaldean atau Khaldi.
Periode ketiga disebut zaman Hurri, dimana pusat kehidupan pindah ke kawasan pegunungan Zagros-Taurus-Pontus dengan beberapa kerajaan kecil: Arrap’ha, Melidi, Washukani dan Aratta. Sejumlah nama-nama kabilah (Bukhti, Tirikan, Bazyni, Bakran), sungai (Murad, Balik, Khabur), danau (Van) dan daerah (Mardin, Ziwiya, Dinawar) berasal dari zaman ini.
Periode keempat (mulai 2000 SM) diawali dengan kedatangan suku Hitti dan Mittani (Sindi) ke Kurdistan. Namun invasi besar-besaran bangsa Arya (Indo-Eropa) baru terjadi pada 1200 SM. Akibatnya, pada 727 SM, kerajaan Hurri terakhir, Mannaean, jatuh. Ini diikuti dengan munculnya kerajaan Medes dengan ibukota Ecbatana (sekarang Hamadan, Iran) yang bertahan hingga 549 SM. Kaum Medes inilah yang diakui oleh orang-orang Kurdi sekarang sebagai nenek-moyang mereka, sehingga transmitter televisi pertama mereka diberi nama “Med TV”.
Periode kelima (terakhir) adalah periode Semitik dan Turkik, menyusul interaksi mereka dengan orang-orang Yahudi, Nasrani dan Islam (Arab) serta asimilasi mereka dengan bangsa Turki (terbukti dengan adanya nama-nama kabilah seperti Karachul, Oghaz, Devalu, Karaqich, Iva, dan sebagainya).


Daerah menggunakan bahasa Kurdi (Warna Terang / Tengah)

Suku Kurdi sejak dulu kala dikenal sebagai suku yang semi-nomaden. Mereka tersebar diberbagai wilayah (ada yang memperkirakan seluas 640.000 km persegi), dari barat laut Iran sampai timur laut Irak, Armenia, Turki, dan timur laut Suriah. Sebagian besar bangsa Kurdi adalah pemeluk Islam Sunni, meskipun ada yang menganut Yudaisme dan Kristen. Mereka tinggal di daerah-daerah rural, dan umumnya melakukan usaha pertanian, atau menggembalakan domba. Bulan Agustus 1988, pasukan Irak melancarkan tindakan ofensif besar-besaran terhadap kaum (separatis) Kurdi di Irak utara. Ribuan orang Kurdi mengungsi (diperkirakan mencapai 100.000-150.000) ke perbatasan Turki. Mula-mula Turki bersimpati. Dengan alasan kemanusiaan dan sejarah (sebagaimana termaktub dalam Traktat Sevres 1920—bahwa kelak Turki harus mengakomodasi kemerdekaan bangsa Kurdi), mereka pun menyediakan semacam perkampungan suaka. Bahkan, Pemerintah Turki waktu itu menolak permintaan Irak untuk mengizinkan pasukan mereka mengejar kaum Kurdi di Turki.

Hanya, keterbukaan Turki untuk menampung para pelarian Kurdi ternyata membuat Turki kemudian mengalami kesulitan tersendiri. Sekitar separuh dari seluruh populasi orang Kurdi tinggal di Turki. Secara cepat, bangsa Kurdi berkembang biak di wilayah Turki. Sekarang, dari sekitar 69.660.559 jumlah orang Turki, 14 hingga 21 jutanya adalah etnis Kurdi. Secara demografis mereka tersebar di wilayah tenggara Turki.
Di Turki sendiri, sejarah perjalanan bangsa Kurdi juga tidak terlalu menyenangkan. Pendiri Turki modern, Mustafa Kemal Attaturk, telah menjadikan etnis-etnis tertentu di wilayah bekas Kekaisaran Ottoman itu menjadi tumbal bagi kemerdekaan Turki dari jajahan Inggris. Konferensi Lausane yang ditandatangani oleh Attaturk dan Menlu Inggris Lord Curzon pada 24 Juli 1923 menegaskan bahwa segala konstitusi Islami harus dihapuskan jikalau Turki ingin merdeka. Attaturk kemudian setuju untuk menganut republik sekuler, dan menghapus pemerintahan kekhilafahan sebelumnya.
Pada masa yang sama, Turki mengadopsi sistem numerasi internasional dan alfabet Latin. Berikutnya Turki mengadopsi kode komersial baru (1929), hak voting dan elektoral bagi perempuan dalam pemilu lokal (1930) dan kemudian dalam pemilu parlemen (1934), melarang pemakaian kostum-kostum keagamaan di luar tempat ibadah (1934), mengadopsi nama akhir (1935), dan masih banyak lagi.

Akibatnya, segala bentuk pengungkapan diri bagi kaum Kurdi (juga kelompok-kelompok minoritas lain di Turki) yang menunjukkan identitas etnik yang unik direpresi secara semena-mena. Kurdi tidak punya hak berpolitik (untuk beberapa lama), tidak punya akses pendidikan, dan informasi. Bahkan sebelum 1991, bahasa Kurdi yang tersebar secara luas dianggap ilegal. Hingga 1999 pun masih ada batasan-batasan tertentu bagi bangsa Kurdi (misalnya siaran radio Kurdi tidak boleh lebih dari 1 jam per hari, lima hari seminggu). Bangsa Kurdi merasa disingkirkan, dicerabut dari tanah kelahirannya, dan dihimpit tanpa belas kasihan. Maka dimulailah konflik panjang antara bangsa Kurdi dan pemerintah Turki.

Masalah
Separatisme politis adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain). Istilah ini biasanya tidak diterima para kelompok separatis sendiri karena mereka menganggapnya kasar, dan memilih istilah yang lebih netral seperti determinasi diri.

Gerakan separatis sering merupakan gerakan yang politis dan damai. Telah ada gerakan separatis yang damai di Quebec, Kanada selama tiga puluh tahun terakhir, dan gerakan yang damai juga terjadi semasa perpecahan Cekoslowakia dan Uni Soviet. Singapura juga lepas dari Federasi Malaysia dengan damai.

Separatisme juga sering merupakan tindak balas yang kasar dan brutal terhadap suatu pengambil alihan militer yang terjadi dahulu. Di seluruh dunia banyak kelompok teroris menyatakan bahwa separatisme adalah satu-satunya cara untuk meraih tujuan mereka mencapai kemerdekaan. Ini termasuk kelompok Basque ETA di Perancis dan Spanyol, separatis Sikh di India pada 1980-an, IRA di Irlandia pada masa pergantian abad dan Front de Libération du Québec pada 1960-an. Kampanye gerilya seperti ini juga bisa menyebabkan perang saudara seperti yang terjadi di Chechnya.

Gerakan separatis biasanya berbasis nasionalisme atau kekuatan religius. Selain itu, separatisme juga bisa terjadi karena perasaan kurangnya kekuatan politis dan ekonomi suatu kelompok.

Daerah Basque di Spanyol, yang belum merdeka selama berabad-abad lamanya, mengembangkan kelompok separatis yang kasar sebagai reaksi terhadap aksi penindasan yang kasar oleh rezim Francisco Franco. Hal yang sama terjadi di Ethiopia di mana para pemberontak Eritrea lebih marah terhadap despotisme dan korupsi daripada sebuah negara Eritrea yang tidak mempunyai sejarah yang panjang.

PJAK (Partiya Jiyana Azad a Kurdistanê [Partai Pembebasan Kurdistan]) dituding sebagai penyokong gerakan separatisme kurdi di Turki.

Isi
Partai Pekerja Kurdistan (Bahasa Kurdi: Partiya Karkeren Kurdistan atau PKK) pun didirikan pada 1970-an oleh Abdullah Ocalan untuk merangkum aspirasi kaum Kurdi. Kelompok bersenjata yang menganut ideologi Marxisme-Leninisme dan nasionalisme Kurdi ini menegaskan bahwa tujuan mereka adalah menciptakan sebuah negara Kurdi merdeka yang di wilayah Kurdistan (yaitu Turki bagian tenggara, timur-laut Irak, timur-laut Syria, dan barat-laut Iran). Bagi Turki, organisasi ini bersifat memberontak dan, karena mempergunakan kekuatan bersenjata, menjadi ancaman bagi masyarakat secara umum. PKK kemudian dikategorikan sebagai organisasi teroris internasional oleh sejumlah negara, termasuk AS dan Uni Eropa. Ankara menuduh bahwa sebanyak 30.000 orang yang menjadi korban dari konflik panjang ini semata-mata salah PKK.

PKK sendiri membantah dengan mengatakan bahwa jalan kekerasan terpaksa diambil sebab konteks perjuangan sudah berubah. Mereka beranggapan bahwa kebutuhan untuk membebaskan rakyat Kurdi dari penindasan kultural yang massif terhadap identitas dan hak-hak Kurdi yang dilakukan oleh pemerintah sudah sampai di puncak tertinggi. Jadi, meskipun langkah-langkahnya dikecam banyak lembaga internasional, PKK tidak ambil peduli. Perjuangan bersenjata pun dilangsungkan sejak 1984, dan memakan korban ribuan jiwa. Tidak hanya itu, karena perang terbuka yang terjadi di antara kedua belah pihak, banyak desa-desa di wilayah tenggara Turki yang ditinggalkan oleh penduduknya (depopulasi). Tercatat, ada sekitar 3000 pemukiman Kurdi yang terhapus dari peta, yang berarti sekitar 378.000 orang Kurdi tidak punya tanah hunian.

Penangkapan Abdullah Ocalan, pemimpin PKK, pada 16 Februari 1999 di Kedutaan Besar Yunani di Nairobi, ternyata tidak mengendurkan perlawanan Kurdistan. PKK menjawab penangkapan Ocalan dengan serangkaian pengeboman dan serangan bersenjata, baik di Turki maupun di luar Turki. PKK adalah organisasi yang besar dan kuat. Anggotanya meliputi 10-15 ribu gerilyawan aktif, dan 60-75.000 pasukan pendukung. Kelompok-kelompok lain seperti DHKP/C, IDBA-C, TAK, dan lain-lain terus menyerang fasilitas-fasilitas pemerintahan dan publik Turki. Mereka pun mempergunakan aktivitas-aktivitas terorisme (bom, penyanderaan, pembunuhan) untuk membuat pernyataan politik, terutama di Istanbul.

Pada Juli 2003, Parlemen Turki memberlakukan “UU Reintegrasi” yang isinya mengurangi masa tahanan atau memberikan kebebasan untuk mereka (tahanan atau gerilyawan yang masih aktif) yang mau menyerahkan senjata dan memberikan informasi seputar gerakan pemberontak. Banyak tahanan yang membuka mulut karena UU ini. Pemerintah melaporkan bahwa hingga Desember tahun yang sama, ada 2.486 tahanan dan 586 kombatan aktif yang melapor. Hanya, angka ini tidak bisa diverifikasi secara independen.

Keputusan pemimpin Kurdi di Irak utara melarang pengibaran bendera negeri itu dan menggantinya dengan bendera suku mereka membuat Turki kecam. Angkara khawatir terbentuknya negara Kurdi, yang wilayahnya termasuk di Turki.

Ini memungkinkan karena penduduk Kurdi di Turki cukup besar. Apalagi aksi kekerasan gerakan separatis tersebut semakin meningkat.

"Jelas sekali pengibaran bendera Kurdi sebuah langkah baru menuju kemerdekaan Kurdi," kata Sadat Laciner, pengamat wilayah perbatasan Turki-Irak pada Institut Studi Strategis di Ankara.

Selama ini Turki kesulitan mengatasi gerakan separatis Kurdistan Workers' Party (PKK) yang bersembunyi di perbatasan Irak- Turki. Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan balik mengecam pernyataan Barzani. Dia menyatakan, warga Kurdi di Irak akan membayar mahal jika berani mengintervensi Ankara.
Dia mendesak pemerintah Baghdad dan pasukan koalisi segera turun tangan menyelesaikan masalah itu. ’’Barzani telah melampaui batas. Saya anjurkan padanya untuk tidak mengatakan sesuatu yang dia sendiri tidak bisa mempertanggungjawabkannya. Dia harus hati-hati dengan pernyataannya atau dia akan hancur oleh katakatanya sendiri,”tegas Erdogan.
Pemerintah Baghdad dan Washington mengaku kecewa dengan Barzani.Namun demikian,kedua pemimpin sejauh ini belum menentukan langkah guna mengakhiri ketegangan yang terjadi di perbatasan Irak-Turki.

Rencananya, masalah di Kirkuk baru ditentukan melalui referendum yang digelar akhir tahun ini. Sejumlah pihak khawatir, kemenangan Kurdi di Kirkuk akan menguatkan gerakan separatis di Turki.

Sementara itu, empat tahun sejak jatuhnya mantan Presiden Irak Saddam Hussein, pasukan koalisi pimpinan AS belum juga berhasil memenangi perang di Irak. Hal ini membuat sejumlah pihak menentang strategi perang yang dijalankan Pentagon. Bahkan, ribuan warga Syiah di Irak terus menggelar aksi massa menentang keberadaan pasukan asing di Irak.

Mereka mengklaim,pasukan asing adalah penyebab utama ketidakstabilan keamanan di Irak. Meski ditentang, Presiden George W Bush tetap mengirim pasukan tambahan ke Irak.Akhir tahun ini, Pentagon akan memberangkatkan 13 ribu pasukan Garda Nasional AS ke Baghdad. ’’Kami sudah melakukan pengamatan langsung di lapangan. Hasilnya positif. Secara umum, Irak saat ini jauh lebih aman,” tegas Juru Bicara Militer AS William Caldwell kepada CNN.

Presiden otonomi wilayah Kurdi di Irak utara, Massud Barzani, awal September, menginstruksikan semua kantor dan institusi pemerintah mengibarkan bendera Irak Kurdistan. Ini memicu kontroversi di Irak.

"Rakyat Irak seharusnya mencemaskan soal yang bekal berkembang ini," kata Menteri Luar Negeri Turki Abdullah Gul.

Saat ini suku Kurdi berjumlah sekitar 26 juta jiwa. Mereka mendiami Irak, Turki, Iran, Suriah, Lebanon, Armenia, Georgia, Kirgistan, Azerbaijan, Kazakstan dan Afganistan. Dari negara-negara tersebut, Kurdi Irak lah yang banyak bergolak
Kesimpulan
Konflik di Turki terjadi semenjak 15 Agustus 1984 karena pemerintah Turki tidak menghargai hak-hak kultural dan identitas kaum Kurdi. Hukum ditegakkan hanya untuk menyingkirkan kaum Kurdi. Semua upaya diberlakukan untuk membatasi ruang gerak sosio-politis bangsa Kurdi. Serangan yang terjadi di Diyarbakir, Turki, pada 12 September 2006 lalu semakin menegaskan bahwa “Yurtta Baris, Dunyada Baris” Damai di Rumah, Damai di Dunia hanyalah sekadar motto bagi negara Turki.

Saat ini suku Kurdi berjumlah sekitar 26 juta jiwa. Mereka mendiami Irak, Turki, Iran, Suriah, Lebanon, Armenia, Georgia, Kirgistan, Azerbaijan, Kazakstan dan Afganistan. Dari negara-negara tersebut, Kurdi Irak lah yang banyak bergolak


Firing Squad Kurdi di Iran, 27 agustus 1979









Refrensi:
the Middle East Crisis, Reese Erlich,
Wikipedia Indonesia, “Kurdi”
Wikipedia Indonesia, “Separatisme”
Sinar Harapan, Rabu 20 Juni 2007, “Saya orang Kurdi”, Kristanto Harahap
Sinar Harapan, Rabu 03 Juli 2003, Ria Novista, “Timur Tengah Menyusul Perang Irak”
www.swaramuslim.net, “Jati diri bangsa petualang (Kurdi)”
Radio Nederland Wereldomroep Siaran Indonesia - Dari Hilversum Radio Nederland Menyapa Dunia - Bahasa Indonesia.htm, “Radikal Kurdi Lancarkan Serangan Karena tidak sabar”, Johan Huizinga, 30-08-2006 (Internet)
http://www.google.com/search?q=cache:yRsyThd9etcJ:www.ranesi.nl/arsipaktua/irak/turki_marah050201+separatisme+%22kaum+Kurdi%22&hl=id&ct=clnk&cd=11&gl=id
Banjarmasin Post, Sabtu 16 September 2006, Turki Khawatirkan Bendera Kurdi.
Sindo Edisi Sore, Senin 13 Agustus 2007, Irak Turki Memanas, Imam Gem.

Hizbullah


PERAN HIZBULLAH DALAM KONFLIK
ISRAEL – LEBANON TAHUN 2006
oleh : bapak sidik jatmika

                                   
Bendera Hizbullah

Hizbullah (Bahasa Arab: حزب الله, "Partai Tuhan") adalah kelompok Islam Lebanon yang terdiri dari sayap militer dan sipil. Kelompok ini didirikan pada tahun 1982 untuk memerangi pendudukan Israel di selatan Lebanon. Bersama Gerakan Amal, Hizbullah adalah partai politik utama yang mewakili komunitas Syiah, kelompok terbesar di Lebanon. Hizbullah dipimpin oleh Hassan Nasrallah[1].
Hizbullah menganut konsep di mana lembaga eksekutif berada di bawah pengawasan ulama.mereka tidak menganut konsep organisasi politik seperti yang lazim dikenal. Hal inilah yang membedakan konsep hizbullah dengan partai, organisasi, gerakan islam lainnya[2].


LATAR BELAKANG KONFLIK
Konflik Israel-Lebanon 2006 adalah serangkaian tindakan militer dan bentrokan terus-menerus di Israel utara dan Lebanon yang melibatkan sayap bersenjata Hizbullah dan Angkatan Pertahanan Israel (Israeli Defence Force atau IDF). Konflik ini berawal pada tanggal 12 Juli 2006, ketika Hizbullah menyerang kota Shlomi di Israel utara dengan rudal Katyusha, kemudian pasukan Hizbullah menyusup ke wilayah Israel. Dalam serangan tersebut, tiga pasukan Israel dibunuh, dua luka-luka, dan dua diculik[3]. Peristiwa ini kemudian berlanjut dengan serangan Hizbullah ke wilayah Israel yang menghasilkan delapan orang tentara Israel tewas dan melukai lebih dari 20 orang[4]. Israel kemudian membalas dengan Operasi Just Reward ("Balasan yang Adil"), yang lalu namanya diubah menjadi Operasi Change of Direction ("Perubahan Arah"). Serangan balasan ini meliputi tembakan roket yang ditujukan ke arah Libanon dan pengeboman oleh Angkatan Udara Israel (IAF), blokade Udara dan Laut serta beberapa serangan kecil ke dalam wilayah Lebanon selatan oleh tentara darat IDF.
Seorang warganegara Indonesia yang bekerja sebagai TKI, Siti Maemunah binti Muhtar Bisri, dilaporkan tewas di Lebanon akibat rudal yang diluncurkan Israel pada 11 Juli[5].


  • Alasan serangan Israel
Israel menyerang Lebanon dengan menggunakan alasan penawanan 2 tentara Israel oleh Hizbullah dalam suatu serangan lintas perbatasan. Hizbullah berencana untuk menggunakan penawanan ini untuk melakukan pertukaran tawanan untuk membebaskan warga Libanon dan Palestina yang ditahan Israel[6]. Israel membalasnya dengan menyerang Lebanon bertubi-tubi. Serangan besar Israel ini mengagetkan Hizbullah, yang sebelumnya memperkirakan Israel akan membalasnya dengan operasi komando untuk balas menculik anggota Hizbullah, seperti yang sebelumnya pernah dilakukan. Menurut wartawan pemenang Pulitzer, Seymour Hersh[7], Israel telah lama mempersiapkan serangan ini atas restu AS, sebagai penjajakan untuk serangan berikutnya ke Iran[8]. Hizbullah membalas kembali dengan meluncurkan roket-roket ke kawasan utara Israel.
- Peta wilayah Israel yang terkena bom roket dari tentara hizbullah
Map showing some of the Israeli localities attacked by rockets fired from Lebanese soil as of Monday 7 August.

Perdana Menteri Israel Ehud Olmert berkata serangan akan dihentikan jika Hizbullah membebaskan 2 tentara Israel. Hizbullah hendaklah menghentikan serangan roket dan pemerintahan Lebanon melaksanakan Ketetapan Majelis Umum PBB 1559, yaitu perlucutan senjata oleh Hizbullah. Israel menuduh Hizbullah telah melancarkan 130 roket dalam waktu 48 jam menyebabkan belasan warga tewas dan ratusan lainnya luka-luka. Serangan roket Hizbullah ini dilakukan setelah serangan bom Israel ke Libanon.
Perdana Menteri Lebanon Fuad Siniora mengatakan Israel harus mengembalikan wilayah Sheeba Farms kepada Libanon sebelum melakukan pelucutan senjata Hizbullah, mengingat penyebab adanya Hizbullah adalah untuk membebaskan Libanon dari pendudukan Israel[9]. Hizbullah merupakan merupakan organisasi Islam Syiah. Ada yang pro-Suriah dan pro-Iran. Hizbullah mempunyai perwakilan di Parlemen Lebanon dan ada yang menjadi menteri Lebanon.
- Peta wilayah Lebanon akibat serangan roket Israel
Areas in Lebanon targeted by Israeli bombing, 12 July to 13 August 2006.
  • Misi Pembebasan Anggota
Pada 28 Juni 2006, tiga kelompok milisi mengklaim telah menculik Kopral Gilad Shalit berusia 19 tahun untuk mendesak pemerintah Israel melepaskan seribu orang tahanan. Ketiga kelompok perlawanan itu meminta Israel segera menghentikan agresi militernya di wilayah Palestina. Israel yang sejak awal menolak berkompromi melancarkan serangan ke sejumlah kamp milik Fatah dan Hamas. Termasuk beberapa lokasi yang ditengarai pontensial untuk melarikan sang kopral dari tempat penyekapannya di selatan Gaza. Militer menembus masuk satu jam setelah Kabinet Israel memerintahkan angkatan perangnya memperluas wilayah operasi hingga ke Tepi Barat dan Jalur Gaza untuk menghentikan serangan Hamas dan menyelamatkan sang kopral.
Dalam tujuh malam berturut-turut sejak penculikan tentaranya, Jalur Gaza digempur serangan udara. Israel bersumpah akan meningkatkan aksi militer untuk membebaskan anggotanya. Israel mengancam akan menghabisi para pemimpin Hamasa yang berbasis di Damaskus. Desakan terhadap Suriah untuk bertanggung jawab atas perlindungan militan dilontarkan pada 5 Juli 2006. Dengan sejumlah bala tentara yang masih beroperasi di Jalur Gaza, Israel melebarkan ancamannya terhadap Suriah.
Krisis Timur Tengah semakin memanas setelah sejumlah kelompok militan, termasuk sayap militer Hamas memberi tenggat Selasa (4 Juli 2006) pukul 6 pagi agar Israel membebaskan 1500 orang tahanan Palestina dalam waktu kurang dari 24 jam. Dalam sebuah pernyataan di situs internet, Senin (3 Juli 2006), pejuang Palestina berujar, "Kami memberi waktu kepada para Zionis hingga pukul 06.00 besok pagi, Selasa (4 Juli). Jika musuh tidak merespons tuntutan kemanusiaan sebagai syarat pembebasan tentara seperti yang kami sebutkan dalam selebaran sebelumnya..., kami akan mempertimbangkan untuk mengakhiri kasus itu. Selanjutnya, musuh harus menanggung seluruh akibatnya."
Pejuang Palestina tidak menyinggung akibat apa saja yang harus dipikul Israel jika tidak membebaskan tahanan Palestina. Namun, sejumlah pihak berspekulasi bahwa Shalit akan dieksekusi. Sampai batas waktu yang telah ditentukan, pihak Israel tidak memenuhi tuntutan pembebasan tahanan Palestina tersebut. Di pihak lain, Palestina juga tidak memberikan informasi sedikitpun mengenai kondisi tahanannya apakah sudah meninggal atau masih hidup. "Israel tidak akan mengalah kepada musuh," kata anggota kabinet Israel Roni Bar-On kepada Radio Israel.
Pertempuran sengit terjadi antara Hizbullah dan pasukan Israel di perbatasan Israel-Lebanon sejak 12 Juli 2006 pagi. Pertempuran tersebut pecah setelah kelompok Hizbullah mengklaim menahan dua orang tentara Israel dekat perbatasan Lebanon-Israel. Penangkapan itu diumumkan Hezbollah melalui Al-Manar. Hilangnya dua tentara diakui Kementrian Pertahanan Israel. Pada tahun 2000, Hizbullah juga pernah menahan tiga tentara Israel dan tewas selama operasi. Mayat ketiganya kemudian ditukar dengan sejumlah tahanan Lebanon.
Perdana Menteri Turki Recep Tayyip Erdogan mengirim utusan khusus ke Suriah untuk menemui Presiden Suriah Bashar Assad dan menyampaikan keinginan Turki untuk ikut menjadi mediator penyelesaian krisis.


DATA DAN FAKTA :
Konflik Israel-Lebanon 2006
Data
Tanggal:
Lokasi:
Serangan sayap militer Hizbullah pada sebuah pos penjagaan perbatasan Israel pada 12 Juli 2006 sehingga 8 serdadu Israel tewas dan 2 lainnya ditawan.
Pihak yang terlibat


(netral)
Pemimpin
Israel:
Dan Halutz (ketua dewan jenderal)
Udi Adam (Pemimpin regional)

Lebanon:
Hassan Nasrallah (Pemimpin Hizbullah)
Michel Sulaiman (Tentara Lebanon)
Kekuatan militer (jumlah)
Israel:
70.000 - 90.000
Hizbullah:
3.000 - 10.000
Lebanon:
35.000 - 40.000
Korban
Israel:
52 tewas, 517 luka-luka, 2 ditawan, puluhan ribu pengungsi
Hizbullah:
42-200 tewas
Lebanon:
(Sipil) 481-750 tewas, 480-1100 luka-luka, 800.000 pengungsi
(Militer)23 tewas, 67 luka-luka



















DAFTAR PUSTAKA

Qurani, Ali. 2006. "Rahasia Ketangguhan Hizbullah". Ramala Books, jakarta.
www.id.wikipedia.org/konflikisrael-lebanon
www.atimes.com/atimes/middle_east

www.zeenews.com/znnews/articles

www.theage.com.au/news/world/israel



[1] www.id.wikipedia.org/hizbullah
[2] Rahasia ketangguhan Hizbullah, Hal.16
[3] www.id.wikipedia.org/konflikisrael-lebanon
[4] www.atimes.com/atimes/middle_east
[5] www.kompas.com/ver1/internasional/25july2006
[6]www.english_aljazeera.net/NR?exeres
[7] www.newyorker.com/fact
[8] www.kompas.com/ver1/internasional/14agustus2006
[9]www.guardian.co.uk/israel/story

GERAKAN SAPARATISME SUDAN


oleh: Bapak Sidik jatmika

Separatisme politis adalah suatu gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam) dari satu sama lain (atau suatu negara lain). Istilah ini biasanya tidak diterima para kelompok separatis sendiri karena mereka menganggapnya kasar, dan memilih istilah yang lebih netral seperti determinasi diri.[1]

Jutaan anak manusia terkapar akibat perang saudara ini. Nyanyian desing peluru, asap beraroma kematian, dan tarian nestapa terus saja menyertai kehidupan di kawasan Darfur dan Sudan Selatan. Tak terhitung lagi berapa harta benda yang lenyap dan berubah wujud menjadi kepulan asap lalu menjelma menjadi jelaga hitam yang menyepuh matahari. Parahnya situasi di Sudan pada saat ini menyebabkan PBB menyebut bahwa konflik Darfur sebagai tragedi kemanusiaan terparah di dunia. Tidak terlalu mengherankan, sebab lebih dari 180.000—300.000 orang telah tewas, dan sekitar 2,5 juta penduduk terpaksa meninggalkan rumahnya sejak terjadi pemberontakan kelompok bersenjata, Februari 2003. Gangguan keamanan ini menyebabkan pemerintahan di Sudan tidak berjalan stabil.

            
                     Peta Sudan                                     Peta Sudan Selatan (wilayah Konflik)

Sejarah Sudan memang senantiasa dihiasi dengan konflik dan perebutan kekuasaan. Setiap pemimpin Sudan selalu dihadapkan dengan kondisi perang. Hal ini menyebabkan masyarakat Sudan menderita kekurangan gizi dan bahan makanan. Banyak penduduk yang mengalami kondisi yang sangat menyedihkan. Tubuh kurus, dengan kulit yang membungkus tulang, adalah pemandangan yang banyak terlihat di sana. Sebagian lagi hanya mampu mengerang-ngerang kesakitan di kamp-kamp pengungsian, sambil bertanya kepada sekitar: masih adakah harapan masa depan yang lebih baik?
Saat ini, Sudan dipimpin oleh Jenderal Omar Hasan Ahmad Al-Basyir. Kekuasaan jenderal ini diperoleh setelah melalui kudeta tak berdarah atas pemerintahan Ja’far Numberi pada bulan Juni 1989. Kudeta ini didukung oleh Dr. Hasan At-Turabi yang pada saat itu menjabat sebagai ketua parlemen dan ketua Partai Kongres Nasional. Karena besarnya kecurigaan jenderal Al-Basyir pada At-Turabi yang mempunyai pengaruh besar di parlemen dan di kalangan rakyat, maka pada Desember1999, presiden Al-Basyir membubarkan parlemen dan memecat Dr. Hasan At-Turabi sebagai ketua parlemen.
Konflik Darfur dan Sudan Selatan


Gambaran Masyarakat Sudan (Sedang melakukan ritual)

Masalah
pihak pemerintah saat ini tidak dapat menjalankan hukum yang berdasarkan syariat Islam di Sudan Utara, karena kondisi yang kurang kondusif. Dan usaha pemerintah untuk melindungi terrorist malah justru semakin memperkeruh keadaan di sudan selatan. Konflik-konflik dan benturan antar kelompok di sudan selatan hingga kini masih sering terjadi.
Isi
Konflik Sudan pada saat in merupakan awal dari episode akhir skenario panjang yang dirancang oleh pihak Kristen dan kaum sekular untuk menguasai Sudan. Juga merupakan bukti makar yang dilakukan oleh orang-orang hipokrit, sekaligus saksi kelalaian kaum muslimin,” tutur Dr. Abdul Aziz Kamil[2]. Negara ini memang tak pernah aman dari konflik jauh sebelum ia merdeka dari penjajahan Inggris tahun 1956. Inggris adalah negara pertama yang mengambil peran dalam penyebaran benih fitnah di Sudan Selatan. Sejak Inggris menguasai negeri penguasa sungai Nil kedua setelah Mesir ini pada akhir abad ke-19, mereka telah menutup jalan masuk dakwah islamiah ke Sudan Selatan. Di saat yang sama, mereka melebarkan sayap kristenisasi dengan membiarkan masuk para misionaris untuk menyebarkan paham dan pengaruh Kristen. Setelah Sudan merdeka, usaha kristenisasi ini tetap berlangsung dengan makmur, karena pemerintah Sudan tidak terlalu memperhatikan usaha kristenisasi ini. Yang penting adalah keadaan rakyat Sudan tetap makmur dan sejahtera.

Keadaan ini tetap berlangsung hingga kini. Malah terlihat ada indikasi yang menyatakan dukungan pemerintah Sudan terhadap proses kristenisasi. Hal ini antara lain terlihat dengan dihapusnya undang-undang tentang batas penyebaran agama Kristen yang pernah ditetapkan pada masa pemerintahan Ibrahim Abud (tahun 1957—1963). Undang-undang ini melarang adanya pembangunan gereja baru di wilayah Sudan Selatan tanpa izin dari pemerintah. Hal ini untuk menghindari terjadinya konflik antaragama dan pembangunan tempat peribadatan Kristen di wilayah umat Islam. Namun kemudian ketentuan ini dihapus atas permintaan Paus Paulus II yang berkunjung ke Sudan tahun 1994. Sehingga terbukalah sebuah kesempatan emas bagi pihak gereja untuk menyebarkan agama Kristen di Sudan dengan seluas-luasnya, dengan tetap berpusat di Sudan Selatan.

Perang ideologi antara penduduk Sudan Selatan yang mayoritas kristen dan Sudan Utara yang sebagian besar muslim mulai tersulut sejak saat itu. Di samping itu, perbedaan ras juga memicu panasnya konflik; penduduk Sudan Selatan didominasi oleh orang-orang Negro sedangkan Sudan Utara banyak dihuni oleh keturunan-keturunan Arab. Pihak musuh yang dikomandoi oleh kaum Yahudi memanfaatkan kesempatan ini untuk mempertajam konflik dengan mengubah ‘topik konflik’ dari agama dan ras menjadi konflik politik dan militer. Hal ini melihat besarnya potensi Sudan untuk kepentingan Yahudi mewujudkan angan mereka mendirikan negara Israel Raya. Dr. Abdul Aziz Kamil menyatakan bahwa potensi-potensi tersimpan yang dimiliki Sudan itu antara lain: 
Pertama, Sudan adalah negara yang terluas di benua Afrika dan wilayah tersubur di kawasan negara Arab. Hal ini memungkinkan adanya pemberdayaan sumber daya alam yang lebih dibanding negara-negara lainnya.
Kedua, Negara Sudan yang saat ini dianggap miskin dan terbelakang, ternyata menyimpan kekayaan alam yang melimpah, seperti adanya kandungan minyak di bagian selatan dan kandungan uranium di bagian barat. Kekayaan yang dapat membawa Sudan menjadi negara kaya dan potensial. Sudan juga masih menyimpan cadangan minyak bumi sebanyak 631,5 juta barel dan 99,11 milyar meter kubik gas alam yang belum tereksploitasi, serta cadangan biji besi dan tembaga dalam jumlah yang tidak terlalu besar. Saat ini, produksi minyak mentahnya sekitar 500.000 barel per hari. 
Ketiga, Sudan berada di posisi strategis lalu lintas perairan Laut Merah. Sebuah posisi yang menguntungkan untuk menguasai perikanan hingga ke jantung Afrika.  Sudan adalah penguasa sungai Nil kedua setelah Mesir. Sudan sebenarnya adalah negara subur dengan dua aliran anak sungai Nil yang memberi berkah pertanian yang menjadi pilar utama perekonomian negara.
Keempat, Sudan merupakan gerbang masuknya Islam ke kawasan selatan dan Afrika yang kini menjadi tujuan program tanshîriah internasional.  Kelima, Sudan adalah satu-satunya negara Arab yang berani menyuarakan syiar jihad dalam setiap pertempuran menghadapi musuh, di saat kata-kata jihad kini sering dikonotasikan dengan kelompok teroris.

Peristiwa Darfur masih merupakan rentetan dari konflik di Sudan Selatan. Opini yang berkembang selama ini menyebutkan, bahwa konflik ini dipicu oleh keinginan kabilah-kabilah Arab di Darfur untuk mengusir kabilah yang berasal dari ras Afrika yang tinggal di sana. Keinginan ini kemudian berujung dengan pembentukan Milisi Junjuwaid oleh kabilah Arab. Sebuah opini yang ingin dicitrakan oleh Washington, ibukota-ibukota Eropa, dan PBB tentang Sudan pada dunia internasional, walaupun tidak sepenuhnya benar. Presiden Al-Basyir menyebutkan dalam wawancara dengan stasiun TV Aljazeera bahwa konflik yang sifatnya rasial memang sudah ada sejak lama dikarenakan oleh banyak sebab.  Menurut Muhammad Arafah, masalahnya bukan hanya karena kabilah-kabilah dan pertikaian mereka yang tanpa henti, bukan pula kerena milisi Junjuwaid Arab saja, tetapi juga karena ketegangan bersenjata yang diciptakan sebagian kabilah-kabilah yang berasal dari ras Afrika dan karena gerakan-gerakan separatis di barat Darfur (3 gerakan) di mana sebagian orang menamakan mereka dengan Toro Poro, yang terbentuk menjelang aneksasi AS atas Afghanistan pada Oktober 2001 (atau sebelum terbentuknya Junjuwaid).

Namun demikian, masalah terbesar adalah karena adanya intervensi asing, sebab intervensi lembaga-lembaga misionaris dan intervensi gerakan separatis massa di selatan pimpinan John Garank demi target-target tak diketahui dan demi munculnya dua kelompok Islam, memperkeruh masalah, menyokong gerakan-gerakan separatis di barat Sudan, dan karena tuntutan mereka yang bertujuan agar Darfur diperlakukan seperti di selatan Sudan. Di samping itu, intervensi negara-negara luar juga sangat kuat. Surat kabar The Washington Post melaporkan bahwa konflik Darfur telah melibatkan banyak pihak, termasuk Amerika Serikat. Hal ini dapat ditelusuri dari peristiwa yang terjadi pada 20 Agustus 1998. Pada hari itu, sejumlah pesawat tempur AS menghancurkan pabrik Asy-Syifa’, pabrik farmasi terbesar di Sudan Selatan. Pemerintah AS yang saat itu dipimpin oleh Bill Clinton menjelaskan, bahwa penyerangan ini dilakukan karena pabrik tersebut diduga memproduksi sejumlah bahan yang digunakan untuk membuat senjata kimia. Pejabat AS meyakini keberadaan pabrik itu mempunyai koneksi dengan Osama bin Laden. Sebuah dugaan yang tidak bisa dibuktikan. Peristiwa serangan AS ke pabrik Asy-Syifa’ itu mendapatkan kecaman dari berbagai pihak. Aksi brutal AS di Sudan tersebut sangat mengerikan dan memakan banyak korban sipil yang mati akibat ketiadaan obat. Meski tidak ada hubungan antara tragedi kemanusiaan Sudan saat ini dengan peristiwa pengeboman itu, tetapi ada sejumlah hal yang harus dipertimbangkan berkaitan dengan pengeboman tersebut.

Dewan Keamanan PBB telah mengeluarkan resolusi kepada pemerintah Sudan untuk menyerahkan 51 tersangka dalam kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan yang umumnya melibat pejabat militer Sudan dan anggota milisi Junjuwaid, dan menyerahkannya ke Mahkamah Pengadilan Internasional (ICC). Namun hal ini mendapatkan tantangan keras dari pemerintah Sudan. Mereka bersikeras untuk menyelesaikan segala permasalahan di dalam negeri tanpa campur tangan pihak asing sedikitpun. Presiden Al-Basyir bahkan menegaskan pada pidatonya tanggal 2 Mei lalu bahwa pemerintah Sudan tidak pernah takut dengan Inggris, Amerika, dan Dewan Keamanan.

Yang juga perlu diketahui adalah kawasan Darfur yang tereletak di bagian barat, menguasai seperlima wilayah Sudan, sementara Sudan Selatan mencakup seperempat wilayah. Sehingga bila konflik ini terus berlanjut lalu berakhir dengan pemisahan diri kaum pemberontak dari kekuasaan pemerintahan Republik Sudan, maka yang tersisa dari Sudan hanya akan tinggal setengahnya saja.

Antara Israel dan Tentara Pemberontak  Hubungan antara pasukan pemberontak di Sudan Selatan yang ingin memisahkan diri dari negara Sudan dengan Israel, telah terbina jauh sebelum John Garank, pimpinan kaum pemeberontak, muncul ke pentas politik Sudan. Sebuah upaya penguasaan Sudan, telah dirintis oleh kaum Yahudi sejak tahun 50-an. Saat itu, Yahudi mulai membina hubungan dengan penduduk Sudan Selatan dengan banyak memberikan bantuan kemanusiaan kepada penduduk di Selatan dan sebagian penduduk di utara Sudan. Pada tahun 60-an, Israel mulai melancarkan provokasi kepada penduduk untuk melakukan pemberontakan. Tidak hanya itu, mereka juga mempersenjatai penduduk Sudan Selatan dengan berbagai persenjataan militer dan mendirikan akademi militer untuk para pemuda Sudan di Ethiopia, Uganda, dan Kenya. Bahkan tentara dan perwira Israel mendirikan karantina khusus untuk melatih pemuda-pemuda Sudan, dengan mengambil tempat di dalam negeri Sudan. Pada pertengahan tahun 70-an, kaum Yahudi melakukan penambahan stok senjata untuk para tentara Sudan yang kemudian mereka gunakan untuk membantai kaum muslmin di sana. Mendekati paruh waktu tahun 80-an, terbentuklah pasukan tentara Sudan keluaran akademi militer Israel. Sepanjang tahun 80-an ini, negara-negara tetangga, seperti Kenya dan Uganda, turut memberikan andil politik dalam mengokohkan kepemimpinan John Garank di Sudan Selatan. Tahun 90-an, tentara Israel memberikan tambahan perangkat senjata militer modern dan mutakhir untuk kepentingan perang. Genderang perang pun semakin kencang terdengar sejak saat itu. Suaranya membahana ke seluruh penjuru dunia. Amr Musa, sekretaris perkumpulan liga arab yang juga seorang pengamat politik, setelah terjadinya penyerangan Amerika ke Irak, menegaskan bahwa kondisi Irak saat ini tidak lebih parah daripada kondisi yang akan dihadapi Sudan akan datang. Dan benar, tak lama setelah itu meletuslah tragedi Darfur di Sudan Barat.

Pengotak-ngotakan negara Arab yang dilakukan oleh kelompok Yahudi merambah jauh ke dalam negeri Sudan. Pemberontakan demi pemberontakan yang terjadi hanya sebagi langkah awal untuk menjadikan Sudan terpecah belah yang tentu berpengaruh pada kondisi negara negara Arab di timur tengah. Perjanjian damai yang terjadi kemudian tidak menjadi indikasi bahwa negara Sudan akan kembali bersatu. Malah justru dari sinilah pemecahan itu dimulai.

Perjanjian yang diadakan pada hari Ahad, 28 Dzulqadah 1425/9 Januari 2005, antara pemerintah Sudan dengan Sudan People’s Liberation Army (SPLA) yang dipimpin oleh Dr. John Garank, telah menyepakati adanya referendum gencatan senjata antar kedua belah pihak dan memberikan kesempatan otonomi daerah kepada pihak Sudan Selatan untuk menjalankan pemerintahan sendiri selama enam tahun. John Garank sendiri diangkat menjadi wakil presiden pertama Sudan dan memegang kepemimpinan tertinggi di Sudan Selatan. Maka terjadilah negara dalam negara. Ketika pihak Aljazeera mengkonfirmasikan hal ini dengan Presiden Al-Basyir, beliau menegaskan bahwa seluruhnya tetap berada dalam lingkup Republik Sudan tapi dengan dua macam undang-undang pemerintahan. Hal ini telah terjadi sejak tahun 1964.

Jangka waktu enam tahun ini bisa menjadi kesempatan emas bagi kaum pemberontak untuk melebarkan sayapnya. Dalam rentang waktu ini mereka bebas mengeruk kekayaan alam dan gas bumi yang berada di Sudan Selatan tanpa ada campur tangan dari pemerintah. Enam tahun adalah waktu yang sangat panjang untuk mempersiapkan segala sesuatu di bidang militer, ekonomi, sosial, politik internasional, dan di bidang lainnya. Mereka pun dapat menghantam dan menyudutkan pemerintah Sudan di mata dunia dengan menyebarkan berbagai opini dan isu, dibantu Amerika dan Israel. Sehingga ketika masa enam tahun selesai, prediksi Dr. Abdul Aziz, John Garank tidak akan memberikan kekuasaan wilayah Sudan Selatan kepada pemerintah, namun akan balik menyerang dengan segala kekuatan milter yang dimilikinya bersama sekutunya.

Sosok John Garank

Garank adalah seorang yang tertutup. Bukanlah hal yang mudah mengajaknya bicara, apalagi diajak diskusi. Lalu mengapa John Garank yang dipilih untuk menjadi komandan kaum pemberontak? Garank muncul ke panggung politik dan militer Sudan setelah melalui beberapa tahap dan tes uji coba yang dilakukan oleh tentara Israel. Selain itu, Garank adalah seorang doktor di bidang ekonomi yang ia peroleh dari salah satu universitas di Amerika. Hal ini sangat membantu dalam perencanaan dan pengaturan ekonomi Sudan untuk selanjutnya. Penguasaan yang baik tentang kondisi sosial dan geografis Sudan dan pengalamannya di bidang militer sebagai seorang perwira tinggi pada angkatan bersenjata pemerintah Sudan, menambah kuatnya pilihan Israel untuk menempatkan Garank sebagai panglima tinggi pasukan pemberontak. Dan sebelum akhirnya Garank menempati posisi tersebut, ia dilatih secara khusus di Akademi Angkatan Bersenjata Israel di Tel Aviv bersama para tentara Israel lainnya. Israel benar-benar menularkan virus perusak ke dalam pikiran dan jiwa orang negro ini.
Di samping itu, hubungan dia dengan Mossad dan CIA telah terjalin sejak lama.


Dia adalah seorang intel yang memantau keadaan pemerintahan di Sudan. Sejak tiga minggu dia terpilih jadi wakil presiden pertama Sudan yang menguasai wilayah Sudan Selatan secara otonom, terhitung sudah empat kali dia mengadakan pertemuan dengan pihak Mossad dan CIA secara rahasia. Hingga akhirnya dia tewas dengan mengenaskan pada awal Agustus kemarin bersama enam orang perwira tinggi dan tujuh awak pesawat. Pesawat yang mereka tumpangi jatuh di kawasan perbatasan Sudan-Uganda karena sebab-sebab yang belum terungkap hingga kini.

Sementara itu, pihak pemerintah saat ini tidak dapat menjalankan hukum yang berdasarkan syariat Islam di Sudan Utara, karena kondisi yang kurang kondusif. Tuduhan-tuduhan kesewenang-wenangan pemerintah kepada rakyat Sudan Selatan dan keterlibatan mereka dalam usaha melindungi teroris turut memperkeruh keadaan. Hingga kini berbagai benturan antar kelompok yang ada masih sering terjadi.





















Kesimpulan
pemerintah saat ini tidak dapat menjalankan hukum yang berdasarkan syariat Islam di Sudan Utara, karena kondisi yang kurang kondusif. Tuduhan-tuduhan kesewenang-wenangan pemerintah kepada rakyat Sudan Selatan dan keterlibatan mereka dalam usaha melindungi teroris turut memperkeruh keadaan. Hingga kini berbagai benturan antar kelompok yang ada masih sering terjadi.

Pemberontak pimpinan  John Garank  terus menyokong para pemberontak Darfur dengan amunisi,  saran-saran dan dengan para penasehatnya, demi mengacaukan dan  mendorong Khurtum agar lebih lunak, demi keuntungan-keuntungan yang
akan didapat pemberontak selatan agar sampai ke akhir kesepakatan damai
yang cepat, sehingga Khurtum dapat lebih berkonsentarsi terhadap
pemberontakan barat Sudan, bahwa di sana juga terbukti adanya
bahan-bahan peledak, senjata-senjata dan truk-truk dari pihak-pihak
musuh Khurtum, seperti Israel, yang ditinggalkan para pemberontak dalam
berbagai peperangan yang berlangsung antara pihak pemerintah versus
pemberontak.


Sementara itu, pihak pemerintah saat ini tidak dapat menjalankan hukum yang berdasarkan syariat Islam di Sudan Utara, karena kondisi yang kurang kondusif. Tuduhan-tuduhan kesewenang-wenangan pemerintah kepada rakyat Sudan Selatan dan keterlibatan mereka dalam usaha melindungi teroris turut memperkeruh keadaan. Hingga kini berbagai benturan antar kelompok yang ada masih sering terjadi.

Dari sana permainan di Darfur menjadi terkuak, dan target-targetnya
jelas, yang tercermin dalam penghancuran kesatuan Sudan dan hengkangnya
kekuasaan Khurtum atas Darfur dengan dalih pembantaian etnis, setelah
Khurtum mencabut kekuasaannnya dari seperempat tanahnya di selatan. Mungkin mungkin masalah ini tidak akan selesai atau rampung sampai wktu yang cukup lama hingga syariat islam ditegakkan di Sudan Utara.


Refrensi
Pelajaran Darfur Sudan, Islam Arab membantai Islam non Arab


Sudan Geliat Konflik Berkepanjangan, Umarulfaruq Abubakar





[2] Majalah Al-Bayan edisi Muharram 1426